Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Fatwa
Cari Fatwa

Qadhâ' Puasa Secara Bersambung (Tidak Terputus), Wajib Atau Sunnah?

Pertanyaan

Saya ingin bertanya tentang cara yang ingin saya jalani dalam meng-qadhâ' puasa Ramadhân yang tidak saya tunaikan pada tahun-tahun ketika saya masih kanak-kanak. Yaitu melakukan puasa qadhâ' selama beberapa bulan Hijriah secara bersambung, mungkin sampai enam atau tujuh bulan tanpa terputus dalam satu tahun, dan saya mampu melakukannya. Apakah itu boleh, dengan menjadikannya sebagai puasa qadhâ' dan bukan puasa sunnah? Ataukah ini termasuk perkara yang dilarang, karena Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—melarang puasa dahr (puasa sepanjang tahun)? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalasi kebaikan Anda.

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Siapa yang mamiliki kewajiban meng-qadhâ' puasa Ramadhân dianjurkan meng-qadhâ'-nya secara bersambung setiap hari (tidak terputus), berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian." [QS. Âli `Imrân: 133]

Ibnu Hazm dan beberapa ulama lainnya bahkan berpendapat bahwa melakukan qadhâ' puasa Ramadhân secara bersambung (tidak terputus) adalah wajib. Tetapi pendapat yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa qadhâ' puasa secara bersambung hukumnya mushtahab (sunnah); sehingga jika seseorang tidak melakukannya secara bersambung pun, qadhâ'-nya tetap sah, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Maka (wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al-Baqarah: 184]. Dalam ayat ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—tidak menyaratkan harus bersambung, sehingga yang berlaku adalah hukum dasarnya, yaitu bebasnya seseorang dari keharusan itu.

Adapun masalah puasa dahr yang Anda sebutkan itu, tidak termasuk ke dalamnya puasa Ramadhân, sebab qadhâ' puasa Ramadhân hukumnya wajib segera dilakukan, guna mengantisipasi hal-hal insidentil yang mungkin terjadi, seperti kematian, penyakit, dan sebagainya. Puasa dahr yang dilarang adalah dalam hal puasa sunnah, dan makna puasa dahr adalah berpuasa terus-menerus setiap hari, kecuali hari-hari yang diharamkannya berpuasa di dalamnya, yaitu dua Hari Raya dan hari-hari Tasyrîq.

Tetapi jumhur (mayoritas) ulama berpendapat boleh saja melakukan puasa dahr bagi orang yang mampu melaksanakannya dan tidak membuatnya lemah, serta tetap berbuka pada hari-hari yang dilarang oleh Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berpuasa di dalamnya. Tetapi pendapat yang kuat mengatakan bahwa puasa sunnah yang paling utama adalah puasa Nabi Daud—`Alaihis salâm, yaitu berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari (selang-seling).

Jika Anda meninggalkan puasa Ramadhân setelah berusia balig maka Anda wajib meng-qadhâ'-nya. Puasa tersebut adalah utang bagi Anda, dan Anda tidak terbebas darinya sampai Anda menunaikannya.

Adapun jika Anda meninggalkan puasa Ramadhân sebelum berusia balig sebagaimana yang dipahami dari ungkapan Anda: "Pada masa kanak-kanak", maka Anda tidak wajib mengkada, karena pada masa itu, Anda belum berstatus mukallaf (belum dibebani oleh kewajiban-kewajiban Syariat).

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait