Islam Web

Artikel

  1. Home
  2. HAJI & UMRAH
  3. Keutamaan Haji

Keutamaan-Keutamaan Haji dan Umrah

Keutamaan-Keutamaan Haji dan Umrah

Sejak Allah—Subhânahu wata`âlâ—memerintahkan Nabi Ibrahim—`Alaihis salâm—untuk menyeru manusia agar menunaikan ibadah haji, jiwa-jiwa manusia senantiasa merindukan Baitullah dan tempat mulia itu. Para tamu Allah berdatangan dari segenap penjuru dunia untuk memenuhi panggilan Allah. Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Ketika Ibrahim selesai membangun Baitullah (Ka`bah), Allah berfirman kepadanya, 'Kumandangkanlah (seruan haji) kepada segenap manusia'. Ibrahim menjawab, 'Wahai Tuhanku, bagaimana suaraku dapat sampai (kepada mereka semua)?' Allah berfirman (yang artinya): 'Serulah, dan Aku yang akan menyampaikannya'. Ibrahim pun kemudian berseru, 'Wahai manusia, telah diwajibkan kepada kalian melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, maka penuhilah kewajiban itu'. Lalu seluruh makhluk yang ada di antara langit dan bumi mendengar seruan itu. Tidakkah engkau melihat bagaimana manusia datang dari pelosok bumi terjauh sekalipun untuk memenuhi panggilan itu?"

Haji diwajibkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—kepada para hamba-Nya satu kali seumur hidup bagi orang yang mampu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah." [QS. Âli `Imrân: 97]. Wajibnya haji merupakan salah satu hukum yang telah diketahui secara pasti dalam agama Islam.

Allah juga telah menetapkan pahala dan balasan yang besar bagi orang yang menunaikan ibadah mulia ini. Hal yang tentunya mendorong keinginan seorang muslim, sekaligus mengasah tekadnya, dan membuatnya memandang ibadah ini dengan hati terbuka dan keinginan yang luar biasa, berharap pahala, ampunan, dan imbalan yang telah Allah sediakan untuk para tamu rumah-Nya yang agung. Banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang berbagai keutamaan haji dan umrah. Di antaranya adalah:

Haji Menghapus Dosa-Dosa Terdahulu

Haji merupakan salah satu sebab dihapuskannya kesalahan dan dosa-dosa. Jika seorang hamba berhasil meraih haji mabrur, maka ia akan kembali dari hajinya dalam kondisi suci dari dosa-dosa, seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Barang siapa yang melakukan ibadah haji, kemudian ia tidak melakukan perbuatan rafats dan kefasikan, maka ia kembali (dari hajinya) dalam keadaan seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya." [HR. Al-Bukhâri]

Secara eksplisit, hadits ini mengisyaratkan diampunkannya semua dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Hâfidz Ibnu Hajar—Semoga Allah meridhainya. Akan tetapi, pengampunan itu diberikan dengan syarat—sebagaimana disebutkan oleh hadits ini—pelakunya tidak melakukan rafats dan kefasikan. Rafats adalah jima' dan pendahuluannya. Sedangkan kefasikan adalah perbuatan dosa dan maksiat.

Disebutkan dalam sebuah hadits shahih bahwa `Amru ibnul `Âsh—Semoga Allah meridhainya—suatu ketika mendatangi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk masuk Islam, dan ingin memberikan syarat kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, yaitu diampuninya dosa-dosa masa lalu yang telah ia perbuat saat masih musyrik. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—menyebutkan untuknya tiga hal yang semuanya menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan masa lalu. `Amru ibnul `Âsh pernah mengisahkan itu dengan mengatakan, "Ketika Allah telah menancapkan Islam dalam hatiku, aku menghadap kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, lalu aku berkata, 'Julurkanlah tanganmu, wahai Rasululullah, aku akan berbai'at kepadamu'. Beliau pun kemudian mengulurkan tangan, tapi aku tetap menggenggam tanganku. Beliau lalu bertanya kepadaku, 'Apa yang terjadi denganmu, wahai 'Amru?' Aku menjawab, 'Aku meminta syarat'. Beliau bertanya, 'Syarat apa yang engkau inginkan?' Aku berkata, 'Aku mohon Allah mengampuniku'. Beliau lalu berkata, 'Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Islam menghapus (dosa) yang terjadi sebelumnya, hijrah menghapus (dosa) yang terjadi sebelumnya, dan haji juga menghapus (dosa) yang terjadi sebelumnya?'." [HR. Muslim]

Dengan demikian, Rasulullah menyatakan bahwa haji merupakan salah satu ibadah yang menghapus dosa-dosa masa lalu.

Imbalan Haji Mabrur Adalah Surga

Allah—Subhânahu wata`âlâ—menjanjikan kepada para hamba-Nya bahwa Dia akan memberikan pahala atas ketaatan mereka kepada-Nya. Dan secara khusus Allah menjadikan pahala (imbalan) haji adalah Surga, dan tidak menjadikan pahala lain untuknya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—Rasulullah bersabda, "Dari satu umrah kepada umrah selanjutnya adalah penghapus dosa-dosa yang dilakukan di antara keduanya, dan untuk haji mabrur tidak ada pahala selain Surga." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Tetapi pahala tersebut diberikan dengan satu syarat, yaitu mabrur. Tidak semua haji mendapatkan pahala Surga. Balasan itu terbatas hanya untuk haji yang mabrur. Dan haji mabrur adalah haji yang sesuai dengan Syariat, baik dari segi teknis perbuatan maupun keyakinan akidah, serta sama sekali tidak bercampur dengan syirik, dosa, rafats, dan kefasikan.

Di antara tanda-tanda haji mabrur adalah kondisi seorang muslim setelah haji lebih baik dari sebelumnya. Dalilnya adalah firman AllahSubhânahu wata`âlâ—(yang artinya): "Dan orang-orang yang mendapat petunjuk itu akan Allah tambah petunjuk kepada mereka, dan Allah memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya." [QS. Muhammad: 17]

Hasan Al-Bashari berkata, "Haji mabrur (terlihat) bila pelakunya pulang dalam keadaan zuhud dari dunia dan cinta kepada akhirat." Secara garis besar, haji mabrur sebagaimana dikatakan oleh Al-Qurthubi, "Adalah haji yang terpenuhi hukum-hukumnya, dan tepat memenuhi apa yang diminta kepada seorang mukallaf dalam bentuk yang paling sempurna."

Haji Adalah Salah Satu Amal Baik yang Paling Utama

Ada banyak ragam perbuatan baik. Amalan-amalan itu juga tidak berada pada satu derajat dari segi keutamaan dan pahalanya. Selain itu, umur manusia pendek, sementara banyak perbuatan yang terkadang berkumpul di depan seorang hamba, dan ia tidak tahu mana yang harus didahulukan. Oleh karena itu, seorang hamba sudah semestinya memperhatikan fikih (pemahaman) tentang derajat-derajat amal, sehingga ia dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan amal yang paling Allah cintai, serta mendahulukannya dari amal yang lebih rendah derajat dan keutamaannya. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menyusun urutan amal-amal itu dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Di hadits itu disebutkan bahwa beliau ditanya oleh seseorang, "Perbuatan apa yang paling mulia?' Beliau menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya". Orang itu bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah". Orang itu kembali bertanya, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Haji yang mabrur." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Salah seorang ulama salaf (ulama generasi dahulu) pernah menjelaskan sebab mengapa haji menduduki keutamaan dan derajat mulia ini. Ia berkata, "Aku telah memperhatikan berbagai amalan kebaikan. Shalat membebani fisik seorang hamba, tidak hartanya. Begitu juga puasa. Sementara haji membebani kedua sisi itu. Oleh karena itu, aku melihatnya lebih agung." Jadi, haji adalah ibadah yang berkaitan dengan harta dan fisik sekaligus.

Haji Adalah Jihad

Jihad memiliki banyak macam dan tingkatan. Di antaranya adalah jihad harta dan nyawa, jihad lisan dan kata-kata, serta jihad jiwa dalam taat kepada Allah. Dalam haji, jihad semacam ini terlihat dengan jelas. Haji mengandung sisi kesulitan fisik, sebagaimana ia juga menuntut pengorbanan harta di jalan Allah.

Allah mensyariatkan haji sebagai sarana jihad bagi orang-orang yang lemah dan tidak mampu berperang di jalan Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa `Aisyah—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah perbuatan yang paling mulia, tidakkah sebaiknya kami berjihad?" Rasulullah ketika itu menjawab, "Akan tetapi sebaik-baik jihad adalah haji mabrur." [HR. Al-Bukhâri]

Para shahabat—Semoga Allah meridhai mereka—selalu berpindah dari satu jenis jihad ke jenis lain. Umar ibnul Khaththâb—Semoga Allah meridhainya—berkata, "Jika kalian telah meletakkan pelana kuda kalian (selesai berperang) maka berangkatlah menunaikan haji, karena ia adalah salah satu dari dua bentuk jihad." Ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—juga pernah berkata, "Sesungguhnya ia (amal yang paling utama) terdapat pada pelana kuda dan pelana unta. Pelana kuda untuk jihad di jalan Allah, dan pelana unta untuk perjalanan haji." Riwayat-riwayat seperti ini menunjukkan kepada kita betapa tinggi kedudukan haji dalam syariat Islam, sekaligus betapa pentingnya ia dalam kehidupan seorang muslim.

Haji Adalah Salah Satu Sebab Kaya dan Berlipatnya Nilai Nafkah

Boleh jadi sebagian orang membayangkan bahwa jika ia membelanjakan hartanya untuk haji dan umrah akan membuat hartanya berkurang, dan ia dapat jatuh miskin dan hidup kekurangan. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—sepertinya ingin menghilangkan kebimbangan dan ketakutan itu, sehingga beliau menjelaskan bahwa membelanjakan harta untuk haji dan umrah dapat mendatangkan rezeki dan menolak kemiskinan dari seorang hamba dengan izin Allah.

Disebutkan dalam sebuah hadits shahîh yang diriwayatkan dari Ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda: "Ikutkanlah antara (pelaksanaan) haji dengan (melaksanakan) umrah, karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa, sebagaimana alat peniup api tukang besi dapat menghilangkan karat besi, emas, dan perak." [HR. Ahmad dan lain-lain].

Sebagaimana Allah berjanji akan mengganti di dunia apa yang dibelanjakan oleh seorang hamba untuk menunaikan haji, sekaligus akan memudahkan rezekinya, Allah juga berjanji akan melipat- gandakan nilai nafkah yang ia keluarkan tersebut di sisi Allah Subhânahu wata`âlâ, sebagaimana dilipat-gandakannya nafkah di jalan Allah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Buraidah—Semoga Allah meridhainya—Rasulullah bersabda, "Nafkah (biaya) haji adalah seperti nafkah fî sabîlillâh, (dilipat-gandakan) sebanyak tujuh ratus kali." [HR. Ahmad dengan sanad yang baik (hasan)]

Pelaku Haji Berada dalam Jaminan dan Penjagaan Allah

Karena haji mengandung kemungkinan terjadinya bahaya dan kekhawatiran yang akan menimpa seorang hamba sehingga membuatnya menghindar dari ibadah ini, maka Allah—Subhânahu wata`âlâ—memberikan jaminan pemeliharaan di dunia dan Akhirat bagi orang yang berangkat mengunjungi Baitullah dengan tujuan memenuhi panggilan-Nya. Di dunia, jika ia kembali kepada keluarganya maka ia pulang dengan membawa pahala dan imbalan dari Allah. Di Akhirat, ia akan dibangkitkan dalam kondisi sebagaimana ia meninggal. Dan barang siapa yang sudah ditemani oleh Allah, apa lagi yang harus dikhawatirkan? Dalam sebuah hadits shahîh yang diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, Rasulullah bersabda, "Ada tiga golongan orang yang berada dalam jaminan Allah—Subhânahu wata`âlâ: (Pertama), seorang laki-laki yang keluar menuju salah satu mesjid Allah. (Kedua), seorang laki-laki yang keluar berperang di jalan Allah—Subhânahu wata`âlâ. (Ketiga), seorang laki-laki yang keluar menunaikan ibadah haji." [HR. Abu Nu`aîm; Al-Albâni: shahîh]

Disebutkan juga dalam sebuah hadits shahîh yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah bersabda tentang seseorang yang dibanting oleh unta tunggangannya sehingga meninggal dunia (ketika haji), "Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara, lalu kafanilah dengan kedua kain (ihram)-nya, jangan kalian tutupi kepalanya, dan janganlah kalian beri ia wewangian, karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Para Pelaku Haji dan Umrah Adalah Tamu-Tamu Allah

Disebutkan dalam sebuah hadits shahîh yang diriwayatkan dari Ibnu Umar—Semoga Allah meridhai mereka berdua—bahwa Rasulullah bersabda, "Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang menunaikan ibadah haji, dan orang yang melaksanakan umrah adalah tamu Allah. Allah mengundang mereka lalu mereka memenuhi undangan-Nya, dan mereka meminta kepada-Nya lalu Allah mengabulkan permintaan mereka." [HR. Ibnu Mâjah; Al-Albâni: shahîh]

Kemuliaan apa lagi yang dapat menyamai kondisi di saat seorang hamba menjadi tamu Allah—Subhânahu wata`âlâ? Dan penghormatan apa lagi yang dapat menyamai pengabulan doa seorang hamba oleh Penciptanya?

Wallâhu a`lam.

Artikel Terkait