Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Fatwa
Cari Fatwa

Hukum Orang Berpuasa Menelan Luapan Sendawa Saat Azan Subuh

Pertanyaan

Syaikh yang terhormat, suatu ketika, beberapa saat sebelum waktu Subuh, saya bersendawa sehingga mengeluarkan luapan air dari dalam perut, dan saya merasa ketika itu saya menelannya kembali atau mengeluarkannya. Beberapa detik setelah itu, azan Subuh berkumandang. Saya pun mengeluarkan air ludah saya dan kemudian pergi berwudhuk. Tetapi saat itu, saya merasakan di ujung dalam mulut saya masih tersisa rasa air luapan sendawa itu, lalu saya pun mengeluarkan air liur, tetapi rasa air itu tidak bisa keluar. Saya khawatir mengeluarkannya dengan keras sehingga mengeluarkan dahak yang akan membuat saya ragu, apalagi saya sering dihinggapi rasa was-was (ragu). Akhirnya, saya menelan sisa rasa sendawa itu, sementara muazin telah mengumandangkan azan. Bagaimanakah hukumnya?

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Pertama-tama, kami berdoa semoga Allah segera mengaruniakan kepada Anda kesembuhan dari penyakit was-was dan keraguan yang Anda alami. Kemudian, dari pertanyaan Anda dapat kami simpulkan bahwa puasa Anda bagaimanapun tetap sah, karena puasa tidak batal kecuali dengan terjadinya hal-hal yang membatalkan puasa secara meyakinkan dan disengaja setelah terbit fajar. Ketiga syarat ini tidak ada dalam keterangan yang Anda sebutkan, karena Anda ragu telah menelan luapan itu, Anda juga menyebutkan bahwa itu terjadi beberapa saat sebelum azan Subuh, ditambah lagi Anda tidak sengaja melakukannya. Dengan demikian, puasa Anda tetap sah.

Kami juga perlu mengingatkan bahwa menelan ludah tidak membatalkan puasa. Sebagaimana puasa juga tidak batal dengan menelan luapan sendawa tersebut walaupun secara yakin dan sengaja, selama luapan itu belum sampai di tempat yang memungkinkannya untuk dibuang keluar.

Terakhir, kami berpesan kepada Anda, saudari penanya, agar menjauhi rasa was-was (bisikan keraguan) tersebut dan tidak menenggelamkan diri di dalamnya, karena sebaik-baik obat bagi penyakit seperti ini adalah tidak mempedulikannya sama sekali.

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait