Islam Web

  1. Fatwa
  2. WANITA DAN KELUARGA
  3. Pemisahan Pasangan Suami Istri
  4. Hukum Istri Yang Tidak Taat
Cari Fatwa

Hukum Mempertahankan Istri yang Murtad

Pertanyaan

Bismillâhirrahmânirrahîm.
Saya menikah sejak setahun yang lalu dengan seorang gadis asing yang waktu itu baru memeluk agama Islam. Pada awalnya, ia berpakaian menutup aurat. Tapi setelah beberapa lama, ia berkata kepada saya bahwa ada beberapa kesalahan dalam agama Islam. Ia tidak meyakini bahwa keluar angin dari seseorang membatalkan wudhuk, dan seorang wanita tidak harus shalat dengan menutup aurat karena Allah bukanlah laki-laki yang akan memandangnya, dan Rasul telah menambahkan beberapa hal dari dirinya sendiri ke dalam Al-Quran.
PERTANYAAN saya, apakah menurut Agama, saya boleh mempertahankan ia sebagai istri? Perlu diketahui juga, bahwa ia mengaku beriman kepada keesaan Allah dan beriman kepada ketiga Agama yang ada, tetapi ia mengatakan bahwa semua agama ini telah didistorsi, termasuk agama Islam. Jazâkumullâhu khairan.

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Sesungguhnya wanita ini, selama ia telah memeluk agama Islam, mengetahui apa yang menjadi kewajiban seorang muslim terhadap Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, serta mengetahui bahwa apa yang beliau bawa adalah berasal dari Allah dan beliau tidak mengucapkan sesuatu berdasarkan hawa nafsu melainkan adalah wahyu yang diturunkan kepada beliau, maka ucapan yang muncul dari wanita tersebut dianggap perbuatan murtad dan keluar dari Islam.

Berdasarkan hal ini, Anda tidak boleh mempertahankannya sebagai istri, sebagaimana firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya):

· "Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir." [QS. Al-Mumtahanah: 10];

· "Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman." [QS. Al-Baqarah: 221]

Dan pengakuannya bahwa ia mengimani tiga Agama yang ada, tidak akan memberikan manfaat sedikit pun baginya. Karena, sebagaimana diketahui, iman bukan sekedar ucapan lisan dengan tetap menjalankan apa yang membatalkannya berupa ketidaktundukan kepada hukum-hukum Allah. Meyakini bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—telah menambahkan atau mengurangi dalam Syariat ini dengan apa yang berasal dari diri beliau sendiri, merupakan hal yang bertentangan dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." [QS. An-Nisâ': 65]

Kemudian, sesungguhnya beriman dengan agama yang tiga hanya akan bermanfaat dengan meyakini bahwa Islam menghapus dan menyempurnakan ajaran dua agama sebelumnya. Mengimani keduanya dengan cara selain ini tidak akan memberikan manfaat kepada yang bersangkutan. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di Akhirat kelak, ia termasuk orang-orang yang rugi." [QS. Âli `Imrân: 85]

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait